Kebijakan Pertambangan di Indonesia

Prof. Mas'ud Said, Ph.D

Dewan Pakar Provinsi Jawa Timur

Liberalisasi usaha pertambangan menggiring pada pelemahan pewujudan cita-cita negara. Secara tegas negara ini telah mengatur dalam batang tubuh Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 33 Ayat 3 bahwa bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan harus dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kesejahteraan rakyat. Regulasi pertambangan saat ini mengindikasikan bahwa telah mengabaikan amanah konstitusi tersebut. Lalu, sebenarnya kebijakan-kebijakan pengusahaan pertambangan yang dibuat oleh pemerintah untuk siapa? Permasalahan ini harus didekati dengan pendekatan state centered, bagaimana peran pemerintah, regulasi yang seharusnya, dan metode apa yang tepat digunakan untuk menjawab asumsi dasar bahwa sumberdaya tambang harus dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kesejahteraan rakyat. Realitas tersebut juga dianalisis dengan perspektif ekonomi politik.

Kerangka Regulasi Pengusahaan Pertambangan Indonesia

Kerangka regulasi pengusahaan pertambangan meneral dan batubara (minerba) sudah begitu jelas tersedia. Mulai dari konstitusi (UUD 1945) sampai keputusan menteri. Artinya, proses pengusahaan pertambangan di Indonesia seharusnya tidak menemui masalah dengan kecukupan regulasinya. UndangUndang Dasar 1945 Pasal 33 Ayat 3 mengamanahkan supaya pengusahaan pertambangan baik yang di dalam bumi maupun air harus ditujukan bagi terwujudnya kesejahteraan rakyat. Tidak diperbolehkan adanya kepentingan-kepentingan lain yang menegasikan tujuan tersebut. Berbagai upaya harus dilakukanoleh pemerintah supaya kemanfaatan yang sebesarsebesarnya untuk kemakmuran rakyat tercapai. Bukan hanya manfaat dari hasil eksplorasi yang harus dimanfaatkan bagi kesejahteraan tetapi harus diusahakan juga bagaimana hasil tambang tersebut menghasilkan yang optimal. Optimalisasi hasil tambang tersebut dapat diupayakan melalui hilirisasi usaha pertambangan. 

Setelah dieksplorasi bahan tambang harus dimurnikan dan kemudian dilanjutkan dengan proses pengolahan. Proses ini merupakan upaya untuk meningkatkan nilai tambah dari usaha pertambangan. Apabila bahan tambang sampai pada proses pengolahan, maka hal tersebut menunjukkan bahwa pengusahaan pertambangan sudah mencaai titik optimalisasi nilai tambah.

Terkait dengan peningkatan nilai tambah usaha pertambangan, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 pada Pasal 3, 93, 140 telah mengatur bahwa pemegang izin usaha pertambangan (IUP) dan IUP Khusus (IUPK) dan kontrak karya wajib melakukan pengolahan dan pemurnian untuk meningkatkan nilai tambah. Seharusnya setiap usaha pertambangan di Indonesia, baik yang dilakukan oleh BUMN maupun Swasta yang memegang izin usaha tidak hanya mengeksplorasi bahan tambang mengusahaan pemurnian dan pengolahan dulu baru dimanfaatkan dan diekspor apabila kebutuhan dalam negeri sudah tercukupi. Ada batasan-batasan yang harus dipenuhi oleh pihak yang mengusahakan pertambangan. Batasan-batasan tersebut harus dijadikan landasan dan tidak boleh diabaikan. Landasan tersebut berupa nilai dan prinsip kemanfaatan yang sebesarbesarnya untuk kesejahteraan rakyat, prinsip optimalisasi pengusahaan (eksplorasi, pemurnian, dan pengolahan) untuk memaksimalkan nilai tambah, dan prioritas pemanfaatan hasil tambang yaitu untuk pemenuhan kebutuhan dalam negeri, baru jika berlebih dapat diekspor.

lam negeri dapat merujuk pada Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 yang diperbaharui dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 2012. Pada Pasal 2 Ayat 1 yang mengatur bahwa kegiatan usaha pertambangan mineral dan batubara harus mengutamakan untuk kepentingan dalam negeri. Hal tersebut dipekuat dengan Pasal 84 Ayat 1 dan 3 yang mengatur bahwa Pemegang IUP dan IUPK Operasi Produksi harus mengutamakan kebutuhan dalam negeri dan baru dapat melakukan ekspor setelah terpenuhinya kebutuhan dalam negeri. Peraturan Pemerintah tersebut kemudian ditegaskan lagi dengan adanya Peraturan Menteri ESDM Nomor 7 Tahun 2012 yang diperbaharui dengan Peraturan Menteri ESDM Nomor 11 Tahun 2012. Pasal-pasal yang terkait dengan upaya peningkatan nilai tambah usaha pertambangan yaitu Pasal 2 dan 3 tentang tata cara peningkatan nilai tambah, Pasal 7 tentang kewajiban pemegang izin untuk peningkatan nilai tambah, Pasal 12,13,14 mengatur tentang batasan minimum pengolahan dan pemurnian.

Adanya undang-undang Minerba bertujuan supaya Indonesia dapat merasakan nilai tambah dari produkproduk tambang, mendongkrak produk domestik bruto, dan menyerap tenaga kerja.Sebelum diberlakukan UU Minerba pada tahun 2014, perusahaan-perusahaan tambang berbondong-bondong mengekspor biji tambang dan mineral yang didapatkan dari hasil tambang. Berdasarkan data empiris, selama periode 2008-2012 dan pertengahan tahun 2013 terjadi peningkatan bijih tambang dan mineral yang cukup signifikan. Sebagai contoh rata-rata volume ekspor pada bijih aluminium dan nikel telah meningkat di atas 20% (Badan Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan Perdagangan, Pusat Kebijakan Perdagangan Luar Negeri, 2013). Itu artinya, jika hasil tambang dioleh terlebih dahulu sebelum diekspor, maka akan memberikan peluang lapangan kerja dalam negeri, meningkatkan pendapatan negara melalui pertambahan nilai produk, serta memberikan keuntungan untuk kemudahan pemenuhan kebutuhan dalam negeri. Selama ini, untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri diperoleh dari barang impor. Bisa jadi, barang yang diimpor merupakan barang hasil tambangan Indonesia yang dioleh di luar negeri.  


Sumber: Mas'ud Said, Jurnal Ilmiah Administrasi Publik


Video Youtube Kebijakan Pertambangan di Indonesia